Selasa, 03 September 2013

[ff Nc 21 Re-post from Korean Nc] Our 1st Night (Between Love, Worries, and Passion)

annyeong..aku kembali..tapi..aku cuma mau ngepost ulang..maaf aku bukan bermaksud ngambil ff orang yah..ini aku post diblogku karna aku suka skali ceritanya.dan aku mau ngasih linknya pada kalian eh blognya tutup jadi yah terpaksa deh aku berinisiatif ngepost diblogku..
aku juga ngepost tanpa ngerubah nama authornya.jadi thor jangan marah yah..
maaf kalau ada yang gak suka aku ngepost ini..dan maaf thor gak ijin ngecopas ini ff..tenang saja namamu tetap menjadi authornya..aku cuma ngepost diblogku  saja^^
ini di post di koreannc pada October 9, 2011 1:22 am
langsung saja..
^^

Our 1st Night (Between Love, Worries, and Passion)
1. Author : Nchu~
2. Judul : Our 1st Night (Between Love, Worries, and Passion)
3. Kategori: NC 17, Yadong, Oneshoot
4. Cast:
- Lee Donghae
- Lee Hyesa
- Donghae and Hyesa’s family
ff ini lahir di tengah keputusasaanku belajar untuk ujian meja. Gara-gara lihat foto Hae lagi pake baju mandi, pikiran jadi melanglang buana. Cerita ini akan sedikit membosankan karena lebih banyak monolog. Jadi, selamat membaca buat yang berminat *bow*
———————————————————————————————
Story
Dengan malas aku membuka pakaian yang sudah menempel di badanku sejak pagi tadi, sebuah gaun pengantin berwana putih yang terkesan mewah dengan sedikit aksen manik dan pita di bagian lehernya. Aku menyalakan shower dan membiarkan air mengalir membasahi setiap inchi tubuhku. Tanpa sadar aku terduduk. Tubuhku terasa begitu lelah setelah menjalani serangkaian proses pemberkatan dan resepsi.
Sedikit tidak percaya, pada akhirnya aku bisa sampai di moment ini. Moment yang kuyakin ditunggu oleh banyak wanita single di luar sana.
Pria yang kunikahi tadi pagi adalah seorang pengusaha muda yang kuakui sangat tampan. Statusnya sebagai pemilik perusahaan besar merupakan nilai tambah tersendiri. Senyumannya adalah salah satu hal yang patut dia banggakan, karena itu membuatnya terlihat sangat mempesona. Tak bisa kubayangkan kalau mulai hari ini aku bisa dengan bangga memperkenalkan pria itu sebagai suamiku.
Beruntung? Entahlah.
Pria itu terkenal dengan image santun dan berwibawa, bukan tipe yang kuharapkan untuk menjadi pendamping hidupku. Aku lebih menyukai pria yang sedikit nakal tapi tentu saja masih dalam koridor yang wajar.
Kami menikah karena dijodohkan. Inilah hal yang membuatku sedikit menyesal telah terlahir dalam keluarga pengusaha. Perjodohan adalah sesuatu yang sulit dihindari. Para pengusaha akan mengupayakan segala hal agar perusahaan mereka semakin besar, dan salah satu caranya adalah menikahkan anak mereka sehingga dua perusahaan bisa bersatu. Appaku adalah satu diantara sekian banyak yang mempraktekkan hal itu. Terkadang aku merasa orang tuaku telah menjualku, meski aku sendiri tak yakin mereka setega itu padaku.
Aku sedang asyik membasuh tubuhku dengan sabun saat kudengar pintu kamar mandi diketuk dengan pelan.
“Hyesa-sshi, kau ada di dalam?” kata seseorang dari balik pintu.
Bisa kutebak pemilik suara itu. Lee Donghae. Suamiku. Di rumah ini hanya ada dua orang pria, appaku dan dia. Appaku tidak mungkin memanggilku dengan sapaan resmi seperti itu. Yah, seperti itulah dia memanggilku sejauh ini. Pantaskah seorang suami memanggil istrinya dengan sapaan seresmi itu? Sungguh pria kaku.
Aku berdiri untuk mematikan keran air agar suaraku bisa terdengar lebih jelas olehnya. “Ne,” jawabku singkat.
Tak ada jawaban lagi darinya. Yang ada hanya suara langkah kaki yang terdengar semakin samar. Sepertinya dia memutuskan untuk membiarkanku lebih lama lagi di dalam sini.
Pesta pernikahan kami sendiri memang belum sepenuhnya berakhir. Saat aku masuk tadi, masih ada cukup banyak tamu undangan yang memenuhi halaman tempat resepsi pernikahan kami digelar. Aku hanya terlalu lelah berbasa-basi, sehingga memutuskan untuk masuk rumah lebih dulu.
Kunyalakan kembali keran air dan membilas busa sabun yang menempel. Tanpa sadar air mataku mengalir. Aku masih ingat bagaimana dulu aku membayangkan sebuah pernikahan. Sesuatu yang melelahkan, tapi menyenangkan dan menggairahkan di lain sisi. Sekarang, aku merasa bahwa yang bisa kudapatkan bersama pria itu hanya rasa lelah dan tertekan. Bahkan untuk membayangkan malam pertama kami nanti, aku tidak berani. Bagaimana hal itu akan terjadi antara dua orang yang sama sekali tidak saling mencintai? Terhitung dengan hari ini, kami baru bertemu tiga kali. Aku merasa dia begitu asing. Bagaimana mungkin aku menyerahkan sesuatu yang begitu berharga dari diriku kepada seseorang seperti dia, meskipun pada kenyataannya dia adalah suamiku.
Kupandangi cermin besar yang ada di dinding dan tampaklah tubuhku yang polos, tak terbalut satu helai benangpun. Bibir ini mungkin akan diciumnya, dada ini mungkin akan diremasnya, leher ini mungkin akan memerah karena dihisap olehnya, dan bagian di bawah sana akan kedatangan benda asing untuk pertama kalinya.
Pikiran-pikiran aneh hinggap di otakku, membuat aku merasa risih sekaligus jijik. Berbagai macam kemungkinan bermunculan dalam imajinasiku dan aku belum siap jika itu harus benar-benar terjadi. Namja itu sama sekali tidak buruk, justru sebaliknya. Aku hanya merasa jarak antara kami masih begitu jauh.
Lalu bagaimana kalau dia memaksa? Dia berhak untuk itu. Tapi aku tidak akan mungkin mengatakan dengan gamblang bahwa aku belum siap. Itu bukan sesuatu yang pantas diucapkan seorang istri pada suaminya.
Seandainya aku punya pengalaman tentang hal ini, mungkin saja perasaanku tidak akan segugup sekarang. Setidaknya aku tahu bagaimana memuaskan pria yang telah menjadikanku istrinya. Kenyataannya aku cuma seorang wanita 24 tahun yang selama hidup terlalu terfokus pada studi dan pekerjaan. Akibatnya yah seperti sekarang, aku nyaris buta tentang seks.
Sewaktu kutanya, rekan kerjaku sempat bilang kalau hal itu akan berjalan secara alami. Tapi itu tidak cukup menenangkanku. Dua hari belakangan, aku stress karena hal ini. Dan malam inilah puncaknya. Ottohkae?
“Hyesa-sshi, kau masih di dalam?” suara itu terdengar lagi. Seketika bulu romaku meremang.
“Ne,” lagi-lagi hanya jawaban itu yang bisa kuberikan.
“Kau sudah terlalu lama di dalam. Kau bisa sakit kalau terlalu lama terkena air. Keluarlah,” ujarnya lembut.
Dia benar. Sepertinya aku memang sudah terlalu lama membiarkan air ini merasuk di pori-poriku. Sejak tadi aku memang merasa sedikit menggigil. Apa itu sebuah bentuk perhatian darinya? Ataukah dia hanya tidak sabar ingin menikmati tubuhku?
Untuk kedua kalinya keran air kumatikan. Kuraih baju mandi yang tergantung di dekat pintu lalu kupakai dengan rapi. Ketika pintu terbuka, kudapati dirinya sedang berdiri masih dengan setelan jas pengantin lengkap, meski sepatunya sudah diganti dengan sendal rumah. Di tangannya ada sebuah handuk tebal.
Tanpa menunggu persetujuanku, dia menggosokkan handuk itu di kepalaku, sepertinya bermaksud mengeringkan rambutku yang memang masih sangat basah. Dia melakukan itu dalam diam, sementara akupun tidak mampu bersuara. Yang kulakukan hanya berdiri patuh sambil menikmati aroma tubuhnya yang tercium sangat jelas mengingat jarak kami yang begitu dekat.
“Aku tidak tahu kau begitu suka berlama-lama di kamar mandi. Tapi mulai sekarang, jangan harap kau bisa melakukannya lagi, apalagi di malam hari seperti ini,” ujarnya tegas.
Apa maksudnya itu? Belum apa-apa dia sudah berniat mengatur pola hidupku? Mengubah kebiasaanku? Apa dia tidak tahu kalau aku seperti ini karena strees dan penyebab stressku adalah dirinya?
“Kebiasaanmu itu tidak baik untuk kesehatan. Menjaga kebersihan diri itu penting, Hyesa-sshi, tapi kalau terlalu berlebihan kau bisa sakit,” katanya lagi yang sukses membuatku merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatiku. Tidak, ini tidak mungkin cinta. Tidak mungkin aku jatuh cinta hanya karena kalimatnya barusan. Sadarlah, Hyesa! Dia hanya sedang berkompromi dengan perasaanmu agar bisa menidurimu tanpa perlawanan.
“Sekarang kau gantilah bajumu. Aku juga mau mandi,” katanya lagi.
“Apakah semua tamu sudah pulang?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Tentu saja. Ini sudah sangat larut,” ujarnya seraya masuk dan mengunci kamar mandi.
Iseng aku melihat jam kecil yang berada di atas meja di dekat tempat tidurku. Pukul setengah 12 malam. Jadi aku sudah berada di kamar mandi selama hampir dua jam? Aigoo…
Suara air mengalir mulai terdengar. Kupakai kesempatan ini untuk mengenakan pakaian. Dia tidak mungkin mandi sambil mengintipku, kan?
Aku membuka pintu lemari dan begitu terkejut ketika mendapatinya nyaris kosong. Semua pakaianku menghilang entah ke mana. Yang tersisa hanya sepasang baju tidur pria dan sebuah lingerie berwarna pastel yang bahkan akupun ragu pernah memilikinya. Tanpa bisa dikontrol, kakiku kulangkahkan menuju kamar orang tuaku di lantai dua. Kuketuk pintunya dengan sedikit kasar namun tak ada reaksi dari dalam. Tak lama aku baru ingat kalau adik dan kedua orang tuaku sedang menginap di rumah keluarga Donghae. Mereka sengaja meninggalkan aku dan pria itu berdua saja di sini. Tapi aku tak kehabisan akal. Kuambil telpon dan dengan cepat kutekan sederet nomor yang sudah kuhapal di luar kepala. Setelah deringan keempat, barulah telpon diangkat.
“Eomma, appa, kalian ke manakan pakaianku?” teriakku frustasi. Saat ini aku merasa mereka benar-benar menjualku pada pria itu.
“Pakaianmu kami sita untuk sementara. Dan sebagai gantinya, pakailah pakaian yang sudah kami sediakan,” kata eomma jahil.
“MWOYA? Yak! Kalian tega sekali melakukan ini padaku!” keluhku lirih.
“Hyesa, ini aku, ibu mertuamu,” tiba-tiba saja telpon sudah berpindah ke tangan lain. Aish, mereka benar-benar besan yang kompak.
“Ah, ne eommonim.”
“Lakukanlah yang terbaik malam ini dan berikan kami cucu secepatnya,” ujarnya tak kalah jahil dengan ucapan ibuku tadi. Belum sempat aku menjawab, suara lain kembali terdengar. Kali ini suara wanita yang lebih muda. Aku yakin itu adalah suara adikku.
“Eonni, kau pasti gugup kan? Tenang saja, sebelum berangkat ke sini aku sudah membuatkan teh melati untukmu. Minumlah itu agar kau lebih rileks. Aku menaruhnya di meja makan. Hwaiting!”
“Aish, anak ini! Kau mau kubunuh, hah?” teriakku padanya.
KLIK! Dengan semena-mena dia menutup telpon, meninggalkan aku yang berdiri mematung. Dosa apa aku mempunyai orang tua dan dongsaeng seperti mereka?
Dengan langkah gontai aku kembali ke kamarku. Ruangan ini sangat wangi karena diisi oleh mawar hampir di setiap sudut. Bau harum yang menyeruak dari bunga-bunga itu menambah kesan romantis yang ditimbulkan ornament-ormanen entah-apa-itu-namanya yang sengaja dipasang eomma kemarin malam. Ditambah dengan ranjang putih yang juga ditaburi mawar, lengkaplah sudah pemandangan yang sukses membuatku bergidik ngeri.
Bosan menatap kamar ini, kuambil baju laknat yang ada di dalam lemariku lalu kupakai dengan sangat tidak ikhlas. Setidaknya ini masih lebih baik daripada memakai jubah mandi yang basah. Ketika selesai, bersamaan dengan itu juga pintu kamar mandi terbuka. Pria itu keluar dengan bertelanjang dada, hanya sebuah handuk kecil yang menutupi tubuh bagian bawahnya. Aku sedikit tak percaya mengetahui bahwa tubuhnya ternyata sebagus itu. Padat dan berisi, cukup pantas untuk menjadikannya model majalah pria.
Dia menatapku dengan intens. Awalnya dia melirik tubuhku yang semi telanjang ini. Kudapati raut mukanya sedikit berbeda ketika itu terjadi. Tapi tak lama tatapannya beralih ke mataku. Aku ingin balas menatapnya, sangat ingin. Setidaknya untuk menunjukkan bahwa aku bukanlah orang yang bisa diintimidasi semudah yang dia bayangkan. Kenyataannya tatapan itu benar-benar mengintimidasiku. Aku hanya bisa menunduk dan merasakan jantungku berdegup sangat cepat hingga nyaris copot, sementara kakiku lemas membayangkan apa yang akan menimpa diriku beberapa saat lagi.
Kudengar dia berjalan mendekat. Oh Tuhan, sekarangkah saatnya? Aku tidak siap. Tidak bisakah kami hanya tidur saja malam ini tanpa melakukan hal “itu”?
“Menyingkirlah sedikit, aku mau mengambil pakaian tidurku. Orang tuamu menyimpannya di sini, kan?” ujarnya yang entah kenapa membuatku bernapas sedikit lebih lega. Dia memakai pakaian tidurnya bukankah berarti dia belum ingin menyentuhku malam ini? Tidak mungkin kan kami melakukan hal itu kalau dia masih memakai pakaian lengkap? Jadi malam ini aku selamat, begitu?
“Kau ingin melihatku berganti baju?” tanyanya kemudian.
“Mwo?”
“Keluarlah, aku yakin kau tak ingin berada di sini saat aku melepaskan handukku.”
# # #
Entah ini keberuntungan atau tidak, aku tak tahu. Sikapnya tadi seolah dia tak menginginkanku. Itu sedikit menyakitkan. Tapi di sisi lain aku juga senang. Bukankah ini yang memang aku harapkan?
Kutinggalkan dia di kamar, membiarkannya mengganti baju sementara aku berjalan menuju meja makan untuk meminum teh yang dibuatkan adikku tadi. Benar saja, di atas meja sudah tersedia dua cangkir kosong dan sebuah teko yang kuyakini isinya adalah teh melati kesukaanku. Sudah agak dingin mengingat minuman ini memang dibuat beberapa jam yang lalu. Tapi tak apa. Biarpun dingin, teh ini juga terasa nikmat.
Kutuang teh dan mulai menyesapnya sedikit. Pria itu muncul tak lama kemudian. Tanpa berkata apa-apa, dia melakukan hal yang sama denganku. Duduk sambil menikmati teh yang sudah dingin.
“Kenapa kau belum tidur?” aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Aku tak bisa tidur.”
“Waeyo?”
“Molla.”
Hening untuk beberapa saat. Suara jarum jam menjadi satu-satunya sumber suara di ruangan ini. Aku ingin berbicara lagi dengannya. Sungguh, keheningan ini membuatku sangat tidak nyaman. Tapi aku tidak tahu harus berkata apa. Sebelumnya kami memang tidak pernah berbicara banyak. Pertemuan pertama ketika kami diperkenalkan, dia hanya berbicara ketika ditanya kesediaannya menikah denganku. Pertemuan kedua ketika kami fitting gaun pengantin, dia hanya berkata bagus ketika ditanya pendapatnya tentang gaunku. Lalu pertemuan ketiga hari ini, yah seperti ini. Kaku.
“Kenapa kau mau menikah denganku?” tanyanya tiba-tiba.
Aku sedikit tersedak mendengar pertanyaan itu. Cukup lama berpikir untuk bisa mengeluarkan jawaban yang aku sendiri tidak yakini.
“Usiaku sudah 24 tahun, karierku baik, orang tuaku terus mendesakku untuk menikah, dan aku tidak memiliki kekasih.”
“Kau yakin hanya karena alasan itu?” Tanyanya memastikan.
“Kau ingin aku menjawab apa? Aku juga tak tahu. Aku hanya merasa kau bisa membahagiakanku,” jawabku sembari meneguk kembali teh di cangkirku.
“Kita bahkan tidak saling kenal dengan baik dan kau sudah bisa berpikir seperti itu?”
“Sejujurnya sebelum kau, orang tuaku sempat mengenalkanku pada beberapa namja lain. Mereka tidak kalah darimu. Hanya saja ada sesuatu yang membuatku tidak yakin untuk menyerahkan masa depanku pada mereka. Lalu kau, entahlah. Aku hanya merasa kau berbeda.”
“Jadi kau menyukaiku?” tanyanya lagi.
Mungkin karena pertanyaannya yang sedikit menyudutkanku, atau karena tatapannya saat mengucapkan hal itu, tiba-tiba saja aku merasa tubuhku memanas. Kuminum tehku sampai tandas untuk membuatku sedikit lebih baik.
“Tidak juga. Aku hanya merasa kau pria baik. Lalu kau, kenapa kau menerima perjodohan ini? Kau masih muda dan tampan, kurasa tidak akan sulit bagimu mencari pendamping sendiri.”
Dia tersenyum tipis dan menenggak habis minumannya sebelum menjawab,”Karena aku memang menginginkanmu sejak dulu.”
Jawaban itu tentu saja mengagetkanku. Dia bilang sejak dulu? Bukankah kami bertemu pertama kali di acara perjodohan itu? Aish, kenapa ini? Tubuhku jadi panas dingin karena ucapannya. Tanpa dikomando aku mengibas-ngibaskan tanganku untuk mendapatkan sedikit udara segar. Keringatku mengalir deras dan aku yakin ini tidak wajar. Apakah sedahsyat itu dampak ucapannya barusan terhadap tubuhku? Itu kan belum tentu sebuah kejujuran. Bisa saja dia hanya bermaksud menggodaku.
Kuperhatikan dia melakukan hal yang sama denganku. Ada apa ini? Kenapa udara di sekitar kami mendadak terasa begitu panas.
“Hyesa-ah, minuman apa yang kita minum ini?” tanyanya. Kali ini tak ada lagi panggilan resmi.
“Hanya teh melati. Kau juga bisa merasakannya kan?”
“Kau yakin tidak ada tambahan lain pada minuman ini?” kali ini dia sudah berdiri dan berjalan mondar-mandir di sekitar meja makan.
Di saat yang sama, aku merasakan bagian-bagian tertentu dari tubuhku menegang. Sedikit kepayahan aku menjawab, “Mollayo. Adikku yang membuat ini sebelum pergi. Kenapa kau bertanya seperti itu?”
“Aku rasa dia mengerjai kita,” ujarnya, terdengar kepayahan sama seperti diriku.
“Mwo?”
“Kau tahu obat perangsang? Sepertinya dia menambahkan itu di tehmu,” jelasnya singkat.
Tidak perlu mencoba terlebih dulu untuk tahu akibat yang bisa ditimbulkan obat perangsang. Aku sudah sering membacanya. Dan tanda-tanda itu sudah kualami sekarang. Tubuhku terasa begitu panas dan di bagian-bagian tertentu aku merasa menginginkan sentuhan.
Dalam hati aku merutuki kebodohanku. Seharusnya aku sudah curiga dari tadi. Adikku tidak mungkin dengan sukarela menyediakan minuman untukku jika bukan untuk tujuan tertentu.
“Menjauhlah kalau kau merasa belum siap. Dengan pakaian menantang seperti itu ditambah efek dari minuman barusan, aku tidak bisa menjamin tidak akan berbuat apa-apa padamu kalau kau tetap ada di hadapanku,” ujar Donghae.
Jadi dia menyadari ketidaksiapanku? Dan dia memahaminya? Hyesa, kau sudah salah sangka pada orang ini.
“Pergilah,” perintahnya dengan raut muka yang tidak bisa kudeskripsikan. Aku tahu seberapa sulit dia untuk tetap mengendalikan diri, karena akupun merasakan hal yang sama.
Sadar akan apa yang bisa saja terjadi padaku, akhirnya kuputuskan untuk kembali ke kamar, menjauhi suamiku yang masih saja sibuk mondar-mandir di sekitar meja makan.
Tapi entah ada apa dengan kakiku, tanpa bisa kukontrol aku malah berbalik dan berjalan mendekatinya. Bahasa sederhananya, aku memutuskan menyerahkan diriku dengan suka rela padanya malam ini juga.
Sesaat dia menatapku heran, namun sedetik kemudian bibirnya sudah mengunci bibirku dengan sempurna. Ada sedikit rasa ingin berontak ketika bibirku dilumat olehnya, tapi tubuhku menikmatinya. 

##### kekekekekeekekeke..bagian NCnya saya cut..karna pasti yang buka blog ini ada yang belum 17tahun..yang mau adegan ncnya silahkan ke blog saya satunya ini linknya..ff-nc-21-re-post-from-korean-nc-our-1st-night-between-love-worries-and-passion/ 
sorry yah..bagi yang mau pwnya kudu ikut aturan dulu dan kudu koment dulu disini hargai authornya dan aku yang ngepostnya..oke..#####
 
Kami berakhir dalan posisi berpelukan. Kakinya menindih kakiku sementara tangannya hinggap di pinggulku. Aku sendiri meletakkan kepalaku di lengannya. Posisi ini memudahkanku untuk mendengar suara debaran jantungnya yang menurutku sangat indah.
“Gomawoyo,” kata Donghae sembari mencium keningku.
“Ne, cheonmaneyo,” jawabku lirih.
“Kau tidak menyesalinya, kan?”
“Menurutmu?”
“Menurutku kau menikmatinya,” ujarnya nakal.
“Kalau begitu tetaplah bertahan dengan kesimpulanmu,” aku menjawab dengan malu-malu. “Kau sudah sering melakukan ini sebelumnya?” tanyaku penasaran.
“Bohong kalau kubilang belum. Tidak sering, tapi pernah. Aku ini namja, Hyesa-ah. Dalam kurun waktu tertentu, kami butuh penyaluran.”
Pantas saja dia terlihat tidak begitu canggung dengan lekuk tubuh wanita. Aku sedikit kecewa dengan jawabannya, tapi kuhargai kejujurannya padaku.
“Padahal ini adalah pertama kalinya untukku. Jadi aku mendapatkan barang bekas sementara kau mendapatkan barang baru, begitu?” ujarku pura-pura merajuk.
Dia kembali mencium keningku dengan lembut. Senyumnya tak hilang, dan aku tahu bahwa senyum itulah yang akan membuatku jatuh cinta padanya lagi dan lagi.
“Sekarang bisakah kau menjelaskan perkataanmu di meja makan tadi? Apa maksudmu dengan kau-mencintaiku-sejak-dulu? Itu bukan kebohongan yang sengaja kau ciptakan agar aku menyerahkan diri padamu, kan?”
“Kau sudah terlalu banyak bicara, Nyonya Lee. Sekarang tidurlah, besok akan kuceritakan semua padamu,” ujarnya seraya menarik selimut yang memang tidak menutupi tubuh kami dengan seharusnya.
Aku ingin bertanya lagi, tapi ciuman singkatnya di bibirku berhasil membungkamku.
“Mimpikan aku,” katanya sambil memejamkan mata dan mengeratkan pelukannya di tubuhku.
Akupun mengikutinya. Sekuat tenaga aku berusaha memejamkan mata meski jantungku belum mau berhenti berdegup kencang. Entah karena ucapan Donghae atau karena perbuatannya. Bisa juga karena keduanya. Andai aku punya riwayat penyakit jantung, mungkin aku sudah mati sejak tadi. Terima kasih kepada siapapun yang membuatku tidak perlu merasakan hal itu sehingga aku bisa menikmati malam ini.
# # #
Aku terbangun keesokan harinya ketika kurasakan sinar matahari menembus retina mataku. Sedikit berat, kucoba membuka mata.
“Selamat pagi, Nyonya Lee,” ucap sebuah suara.
Aku tersenyum dan membalas salamnya, sementara tubuhku menggeliat malas dan mataku masih sangat ingin terpejam.
Tiba-tiba kurasakan bibirnya hinggap di kelopak mataku, kiri dan kanan.
“Itu morning kiss dariku.”
Aku kembali tersenyum. Perlahan kubuka mataku. Kudapati dirinya sudah sangat rapi dalam busana casual yang membuatnya terlihat sangat tampan.
“Teh?” ujarnya seraya mengangkat secangkir  minuman kecoklatan di depanku. “Tanpa obat perangsang,” tambahnya.
Mau tak mau tawaku meledak mendengar ucapannya barusan. Segera kuambil cangkir di tangannya dan menyesap habis isinya dalam waktu singkat.
“Wow, sepertinya kau haus.”
“Ne, gara-gara perbuatanmu,” jawabku manja.
Dia hanya terkekeh mendengar ucapanku.
“Darimana kau mendapatkan bajumu? Bukankah di lemari hanya ada baju tidur yang sudah kau robek semalam?”
“Wae? Kau tidak suka melihatku berpakaian? Aku bisa membukanya sekarang juga kalau kau mau,” katanya sembari mengerling nakal. Aku tahu mukaku sudah memerah sekarang, tapi tanganku masih sempat kulayangkan untuk memukul pelan dadanya yang bidang.
Dia tertawa akibat ulahku, lalu berkata, “Orang tua kita dan adikmu yang membawakannya. Bajumu juga ada.”
“Mwo? Mereka ada di sini?”
“Ne. Tadi pagi-pagi sekali mereka ke mari. Sekarang kuyakin mereka sedang menguping di balik pintu.”
Mataku melebar mendengar penjelasan Donghae. Lebih lagi ketika kudengar celetukan dari luar.
“Eonni, bagaimana teh buatanku?” Suara adikku.
“Yak! Hyesa-ah! Kau akan memberikan eomma cucu secepatnya, kan?” Suara ibu mertuaku.
“Hyesa-ah… Lingerie yang eomma berikan apakah masih utuh?” Suara ibuku.
“Appa bisa mendengar suara tangisan bayi dari sini.” Suara ayahku.
Detik selanjutnya kudengar mereka tertawa serempak dalam satu ketukan. Para ibu juga ikut berpartisipasi menyumbang suara tawa, meski tawa appa dan adikku lebih mendominasi.
Aku ingin marah, tapi rasa maluku lebih dulu merajalela. Mukaku memanas dan kuyakin pasti sudah sangat merah saat ini.
“Kita seharusnya berterima kasih pada mereka. Kalau bukan karena mereka, mungkin aku belum bisa memenangkan hatimu.”
Kualihkan pandanganku ke arah Donghae yang juga terlihat malu-malu. “Kau belum menjawab pertanyaanku semalam, Hae-ya.”
Dia cuma tersenyum tipis sembari menunjukkan sebuah foto padaku. Aku mengamatinya dengan seksama. Seorang gadis berambut sebahu dalam balutan seragam sekolah menengah. Sepertinya foto ini diambil diam-diam, karena yang tampak hanya bagian punggung gadis itu.
“Nugu?”
“Neo.”
“Mwo?”
“Itu jawaban atas pertanyaanmu semalam.”
Aku terdiam, berusaha mencerna kata-kata Donghae.
“Aku mengenalmu sejak kita masih di jenjang sekolah menengah, Hyesa-ah. Mungkin kau tidak sadar kalau sejak lama aku selalu ada di dekatmu, mengintaimu, mencintaimu. Berkali-kali aku berusaha mendekatimu, tapi kau selalu bersikap tak peduli pada semua namja yang mendekatimu. Jadi kuputuskan untuk tetap mengamatimu dari jauh. Lalu kita tumbuh menjadi dua orang yang lebih dewasa dan memasuki usia pantas menikah. Kau sudah menjadi wanita karier dan akupun sudah sukses dengan usaha yang kurintis, maka kudesak orang tuaku untuk menikahkan kita. Sejujurnya kita tidak benar-benar dijodohkan, Hyesa-ah. Aku sudah melamarmu pada orang tuamu jauh sebelum pertemuan kita di acara perjodohan waktu itu. Inilah jawabanku atas pertanyaanmu semalam.”
Tanpa bisa kucegah, tanganku melingkar erat di lehernya. Tidak kupedulikan selimut yang melorot dan membuat tubuh bagian atasku jadi naked. Aku hanya ingin melakukan ini. Bukankah sangat manis mengetahui bahwa ada orang yang begitu mengiginkanmu?
“Kau memberiku alasan untuk menyukai kata saranghae. Karena ada namamu di dalamnya. Sarang.  Hae. Bukankah itu sangat bagus? Saranghae,” ucapku masih dengan tangan melingkar di lehernya.
“Nado saranghae, Nyonya Lee.”
-THE END-
So, what do you guys think? Not as hot as you hope? Mianhae kalo kurang memuaskan dan banyak typo. Aku cuma berusaha sesopan mungkin. Tapi pesannya nyampe, kan? Adegannya kebayang, kan? Hehheeh… Akhir kata, aku tunggu komennya. Mau nge-bash juga aku terima kok ^^v

42 komentar:

  1. Bagus banget deh. Sip buat eon yang buat

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. mention ke twitter ku aza di @mithalun ntar aku kasih kok ^^

      Hapus
  3. daebakk.......neomu chowahae-OO-

    BalasHapus
  4. aigo.. ternyata it cinta lama ya?
    wah.. donghae so sweet deh.

    BalasHapus
  5. daebak....
    author boleh minta pw gk ??


    BalasHapus
  6. Oke thor aku sama malu malu sama hyesa aigoooo>3< minta pw ya thooor jebaaal

    BalasHapus
  7. Daebak thor,aku suka jalan ceritanya ^^ boleh minta pw nya gak? '-'

    BalasHapus
  8. Daebakkkk!!
    So sweet abiss
    pengen jadi hyesa nya wkwkwk
    aku minta pw nya dong

    BalasHapus
  9. Min aku suka bgt cerita nyaaa. Bagi pw dong

    BalasHapus
  10. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  11. kak ceritanya bagus
    kakak aku minta pwnya
    Galih

    BalasHapus
  12. huaaa.. ceritanya keren banget.. ternyata mereka malah saling mencintai :D Daebaakk!!

    thor aq mau minta pw nya

    BalasHapus
  13. Wah keren bnget... donghaenya perhatian bnget..

    Minta pw nya dong thooor

    BalasHapus
  14. jalan cerita ny mnrik thor...
    bhasa nya jg ringan...
    keren...
    bg pw dong thor....

    BalasHapus
  15. sweet banget ending nya..
    andai saja itu terjadi pada ku :D
    pisss damai kak :)

    BalasHapus
  16. omona swiiit banget uuh

    BalasHapus
  17. ceritanya sederhana tapi menarik
    karakternya dapet....
    kereeen

    BalasHapus
  18. ff nya bagus :3, minta pw nya boleh..

    BalasHapus
  19. Minta pw nya dong thor :3

    BalasHapus
  20. FF nya keren deh , aku suka , numpang promosi http://mysotoystory.blogspot.com/2015/03/leaving-on-jetplane-bag-1_3.html dibaca ya kakak , komen apapun diterima , makasih

    BalasHapus
  21. Woaah,,
    donghae oppa kereen bgt
    jd makin naksiir sma cowo satu itu,, irii bgt sma hyesaaa
    ceritanya menariik,, boleh yaa baca cerita yg lainnya jg di blog km...

    BalasHapus
  22. Bagus. Seperti masuk ke ceritanya

    BalasHapus
  23. Eon pw dong. Udah 17+ nih umurku

    BalasHapus
  24. Wuuaahh..
    Critanya bagus2. Yg ini ada chapter nggak? Hehe

    BalasHapus
  25. Daebakk!!! Hwaiting bngt buat nahan si donghae oppa �� eonnie aku Udh diatas 17 nihhh mnta pw dong?

    BalasHapus
  26. Daebak.......
    kreeeennnnn, kedikitan malaaahhh,,,, mau pw nya doonnkkk,,,,, aku udh 17+

    BalasHapus
  27. Waaa penasaran bangett!! Simple tapi keren! Author minta pw jg dong.. *thankyou before

    BalasHapus
  28. Thor minta pw dongs arlitaqd@gmail.com usiaku uda 17+ makasi

    BalasHapus
  29. so sweet, minta pw nya dong aku udah 17+ nhe

    BalasHapus
  30. Udah berkali" bacanya tapi tetep aja sukaaa,, bikin tambah penasaran sama bagian nc nya.. minta pass nya dong thor����

    BalasHapus